Vermilioin Rain: Novel Thriller-Misteri Lokal tentang Anomali Cuaca yang Cerdik dan Mencekam

Identitas Buku Judul : Vermilion Rain Penulis : Kai Elian Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit : 2023 Cetakan : I Tebal : 296 halaman ISBN : 9786020669724 Genre : Psychological thriller , misteri, fiksi ilmiah   Tentang Penulis Kai Elian adalah seorang penulis asal Indonesia yang telah menuliskan beberapa buku best-selling , antara lain Teori Tawa dan Cara-Cara Melucu Lainnya (2022), Vermilion Rain (2023), Panduan Jalan-jalan Aman Bersama Mama Macan (2024), dan Halte Alam Baka (2025). Novel Vermilion Rain memenangkan juara III dalam Lomba Novel Thriller GPU x GWP. Kalian dapat mengikuti keseharian Kai Elian melalui akun Instagramnya di @hello.kaielian .   Sinopsis Fenomena cuaca aneh terjadi di Desa...

Yellowface: Gosip Panas tentang Profesi Penulis, Industri Penerbitan, dan Isu Representasi Keberagaman

Identitas Buku

Judul

:

Yellowface

Penulis

:

R. F. Kuang

Penerjemah

:

Poppy D. Chusfani

Penerbit

:

PT Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit

:

2023

Cetakan

:

I

Tebal

:

336 halaman

ISBN

:

9786020672793

Genre

:

Fiksi kontemporer, thriller, satir

 

Tentang Penulis

R. F. Kuang adalah penulis Amerika Serikat yang lahir di Guangzhou, Tiongkok. Dia dan keluarganya pindah ke Amerika Serikat ketika dia berusia empat tahun. Ayahnya besar di provinsi Hunan, Tiongkok dan ibunya besar di provinsi Hainan, Tiongkok. Keluarga ayahnya merasakan langsung pendudukan Jepang di Hunan pada masa Perang Dunia II. Dari sejarah keluarganya tersebutlah dia menarik inspirasi untuk buku-bukunya.

R. F. Kuang mempelajari sinologi atau studi tentang Tiongkok di Universitas Cambridge dan Oxford dengan dana beasiswa Marshall. Di tahun 2025, dia sedang menyelesaikan program Ph.D-nya di Universitas Yale.

Sementara itu, kariernya sebagai penulis dimulai dengan buku The Poppy War yang terbit pada tahun 2018. Buku bertema fantasi-militer Tiongkok tersebut mendapat respons positif dari kritikus dan pembaca di berbagai negara. Kemudian, dua sekuelnya, yaitu The Dragon Republic dan The Burning God terbit pada tahun 2019 dan 2020, dan berhasil mengulang kesuksesan pendahulu mereka.

Setelah itu, R. F. Kuang menulis novel stand-alone yang berjudul Babel, yang terbit pada tahun 2022. Novel tersebut menjadi phenomenal dan menuai banyak pujian karena muatan kritik cerdasnya terhadap relasi antara politik, kolonialisme, dan bahasa. Akan tetapi, bukunya tersebut dikeluarkan dari Penghargaan Hugo tahun 2023, bersama buku Iron Widow (2021) karya Xiran Jay Zhao, seorang penulis Kanada-Tionghoa. Peristiwa tersebut justru membuat dirinya dibanjiri dukungan penggemar.

Kemudian, buku selanjutnya yang dia tulis adalah Yellowface, yang terbit pada 2023. Buku ini mendapat pujian karena berani mengkritik dunia industri penerbitan buku di Amerika Serikat serta mengangkat isu representasi keberagaman.

Sepanjang kariernya sebagai penulis, R. F. Kuang telah memperoleh banyak penghargaan. Buku The Poppy War memenangkan Penghargaan Cromptoon Crook dan Penghargaan Crawford pada tahun 2019.  Kemudian, pada tahun 2020, R. F. Kuang mendapatkan Astounding Award untuk Penulis Baru Terbaik. Adapun buku Babel memenangkan Penghargaan Nebula pada tahun 2022 dan Penghargaan Alex, Penghargaan British Book, serta Penghargaan Locus pada tahun 2023. Sementara itu, buku Yellowface sukses memenangkan Penghargaan Foyles Book of the Year, Goodreads Choice Award, Pengharggan Buku Libby, dan Penghargaan New England Book pada tahun 2023 serta Penghargaan American Book, Penghargaan British Book, dan Penghargaan Indie Book di Britania Raya pada tahun 2024.

Buku terbarunya berjudul Katabasis yang terbit pada tahun 2025. Ia menulis buku ini sambil menyelesaikan Ph.D-nya. Ceritanya adalah tentang dua mahasiswa Ph.D sakti yang bepergian ke neraka untuk menyelamatkan jiwa-jiwa pembimbing mereka agar mereka bisa mendapatkan surat rekomendasi pekerjaan. Seperti buku-bukunya yang lain, Katabasis mendapat respons yang begitu positif dan selalu menjadi buku paling laku di toko-toko buku.

 

Sinopsis

June Hayward dan Athena Liu adalah teman sewaktu kuliah. Keduanya sama-sama menjadi penulis dan buku debut mereka terbit di tahun yang sama. Namun, nasib karier mereka berbeda. Athena yang seorang keturunan etnis Tionghoa menjadi penulis top yang telah menulis beberapa buku dan memenangkan banyak penghargaan, sementara June yang seorang kulit putih hanya pernah menulis satu buku dan itupun tidak laku.

Walau mereka masih suka hang out bersama, June iri pada pencapaian Athena. Ketika keduanya sedang hang out di apartemen Athena, Athena memperlihatkan manuskrip buku terbarunya kepada June. Sebuah buku tentang kisah para serdadu bayaran dari Cina yang turut berpartisipasi dalam Perang Dunia I. Belum ada orang lain yang mengetahui tentang rencana buku terbarunya tersebut, kecuali June.

Kemudian, sebuah kejadian mengejutkan terjadi. Athena meninggal mendadak karena kecelakaan di depan mata June. Setelah itu, June malah mengambil manuskrip buku terbarunya Athena, lalu menyempurnakannya dan menerbitkannya sebagai karyanya. Buku tersebut ternyata menjadi best-seller. Pihak penerbit lalu mengubah citra June Hayward menjadi Juniper Song yang kini mendaki tangga kesuksesan di dunia kepenulisan. Apa yang dahulu dirasakan Athena, kini ia rasakan.

Akan tetapi, bagaimanapun juga, June tidak bisa lepas dari bayang-bayang Athena. Ketika kecurigaan terhadap orisinalitas karyanya bermunculan, June menjadi tidak tenang. Segalanya akan sirna jika ada satu orang saja yang tahu tentang kebohongannya. Sejauh apa June akan bertindak demi mempertahankan apa yang ia pikir layak ia dapatkan?

 

Kelebihan

Ini adalah buku karya R. F. Kuang pertama yang kubaca. Sebelumnya, aku sudah pernah mendengar namanya dan sering melihat reviu positif terhadap buku-bukunya, termasuk Yellowface. Maka dari itu, aku berekspektasi cukup tinggi terhadap buku ini. Rupanya, tidak mengecewakan. R. F. Kuang benar-benar memasak di buku ini. Dari awal sampai akhir, aku merasa puas sekali dengan ceritanya.

Di dalam buku ini, ia membocorkan sisi gelap dunia penerbitan dan kepenulisan di Amerika Serikat—yang mungkin sampai batasan tertentu, relatable dengan dunia penerbitan dan kepenulisan di Indonesia. Ada banyak isu yang dilontarkan oleh R. F. Kuang melalui karakter June. Apakah penerbit benar-benar peduli pada representasi atau keterwakilan keberagaman etnis dan budaya? Ataukah itu sekadar strategi marketing belaka? Apakah seseorang dari etnis tertentu pantas menulis cerita tentang etnis lain, sekalipun ia telah melakukan riset yang serius? Apakah ada perbedaan perlakuan antara tiap penulis? Bagaimana bisa ada penulis yang bukunya laku keras dan yang sebaliknya? Apakah label buku best-seller itu benar-benar karena karyanya bagus dan laku di pasar, atau karena memang sudah diatur? Dan masih ada banyak pertanyaan lain yang muncul di buku ini.

Salah satu isu yang muncul di buku ini yang kusuka sekali adalah masalah representasi atau keterwakilan. Bagi siapapun yang mengikuti budaya pop global beberapa tahun ke belakang pasti menyadari bahwa ada perkembangan dalam hal representasi keberagaman dalam film, buku, musik, dan lain sebagainya. Misalnya di dunia film, banyak film yang penokohannya lebih beragam, seperiti menampilkan tokoh dari beragam etnis, gender, orientasi seksual, kepercayaan, hingga kepercayaan. Sementara di dunia perbukuan juga begitu, dan sekarang ada lebih banyak buku-buku dari penulis yang latar belakangnya juga beragam. Itu adalah bentuk dari kampanye representasi keberagaman agar kisah-kisah dari beragam etnis, gender, orientasi seksual, dan kepercayaan dapat dikenal masyarakat.

Jika kalian suka membaca buku, mungkin kalian menyadari bahwa banyak buku best-seller yang mengangkat kisah dari etnis-etnis Asia, Afrika, pribumi Amerika, dan lain sebagainya. Di dalam buku Yellowface, itu diperlihatkan dari karakter Athena Liu yang seorang keturunan Tionghoa. Dia menulis buku-buku yang terinspirasi dari budaya dan sejarah leluhurnya, dan buku-buku tersebut laku. Di sisi lain, June yang seorang wanita kulit putih menulis buku tentang trauma masa kecilnya, tetapi nasib bukunya tidak sama dengan Athena. Potret tersebut adalah satir terhadap kampanye keberagaman tadi.

Padahal pada kenyataannya, buku-buku karya penulis kulit putih masih lebih banyak daripada buku-buku karya penulis etnis-etnis lainnya. Buku-buku karya penulis kulit putih juga masih lebih laku keras secara global kok, seperti Harry Potter karya J. K. Rowling, The Hunger Games karya Suzanne Collins, The Lord of the Rings karya J. R. R. Tolkien, dan lain sebagainya. Bukan bermaksud bilang bahwa buku-buku karya penulis kulit putih itu jelek atau tidak pantas mendapat ketenaran, hanya saja rasa iri yang dirasakan June terhadap Athena karena melihat bahwa kesuksesan Athena semata karena dia seorang etnis Tionghoa itu tidak berdasar.

Dari kampanye keberagaman tersebut, R. F. Kuang kemudian mulai menyindir tentang rasisme dalam dunia penerbitan dan kepenulisan. Melalui pengalaman June, R. F. Kuang menunjukkan bahwa ada perbedaan perlakuan antara penulis kulit putih dan penulis kulit berwarna, serta bahwa kampanye keberagaman seringkali hanya menjadi strategi pemasaran, tanpa ada kepedulian yang serius dari pihak penerbit. Penerbit mungkin memberikan kesempatan pada penulis dari etnis minoritas agar bukunya dapat terbit, tetapi bukan berarti ia peduli pada keberagaman tersebut, melainkan karena itu bagus untuk citra perusahaan. Bahkan, tak jarang materi keberagaman ini dieksploitasi sebagai materi pemasaran, meski belum tentu isi ceritanya benar-benar tentang itu. Aku sendiri pernah membaca buku yang seperti itu, di promosinya dibilang tentang representasi apa, tetapi setelah kubaca aku tidak menemukan soal itu sama sekali.[1]

Selain itu, isu representasi keberagaman lainnya yang diangkat oleh R. F. Kuang dalam buku ini adalah bagaimana jika seseorang dari suatu etnis menulis cerita tentang etnis lain setelah ia melakukan riset serius dan mendalam? Apakah penulis tersebut patut melakukannya? Apakah karyanya masih bisa disebut representatif, dengan asumsi telah melalui proof-reading dari berbagai pihak, termasuk perwakilan dari etnis yang ia tulis?

Percaya atau tidak, permasalahan tersebut sungguhan ada di dalam dunia kepenulisan. Misalnya, bagaimana jika laki-laki menuliskan buku tentang perempuan? Apakah hasilnya akan orisinal mewakili suara kaum perempuan atau sekadar menjadi mansplaining yang didasari stigma dan stereotipe?[2] Meskipun June bukan orang Tionghoa, ia tetap melanjutkan buku karya Athena. Ia mengembangkan kembali manuskrip awal Athena hingga menjadi karyanya ‘sendiri’ dan untuk itu, dia melakukan riset serius dengan membaca banyak literatur tentang serdadu bayaran Cina pada masa Perang Dunia I. Apakah tindakan June masih etis atau itu sudah menjadi eksploitasi terhadap sejarah dan kebudayaan etnis lain?[3] Aku suka sekali dengan isu tersebut dan aku juga suka karena R. F. Kuang tak memberikan jawaban konkret kepada pembaca. Ia sepertinya membiarkan pembaca menentukan sendiri jawaban yang paling tepat itu apa.

Oh, hampir lupa. Judul buku ini, Yellowface, berarti sebuah cara merias wajah pada pementasan teater yang membuat wajah aktor kulit putih menjadi kekuningan seperti orang-orang Asia Timur. Atau bisa dimaknai sebagai usaha orang-orang kulit putih supaya dikira orang Asia Timur. Itu persis June lakukan—jadi semakin menarik kan judulnya? Namun, kembali ke pertanyaan di atas, apakah secara etika itu pantas dilakukan?

Kritik lain yang disampaikan R. F. Kuang melalui buku ini adalah tentang para pembaca buku serta lingkungan media sosial tempat mereka kerap melontarkan pendapat mereka. Zaman sekarang, sudah banyak akun-akun medsos yang khusus untuk mengulas buku, entah itu bookstagram, booktube, booktok, dan lain sebagainya. Dalam mengulas suatu buku, seringkali mereka menggunakan bahasa yang terlalu kasar hingga terasa berlebihan. Percaya tidak percaya, itu memengaruhi calon pembaca lainnya untuk tidak membaca buku tersebut. Bagi para penulis baru, jika buku mereka diulas buruk seperti itu, itu dapat menjadi vonis bahwa mereka telah gagal.

Tak hanya itu, R. F. Kuang juga mengkritik bahwa akun-akun yang seperti itu, seringkali hanya sekadar cari perhatian dan sensasi supaya mereka juga di-notice. Demi mendapatkan engagement besar di medsos, mereka biasanya turut menyiram bensin ke api ketika ada isu yang sedang ramai. Biasanya mereka akan sok bijak dengan menggunakan embel-embel “untuk jadi pembelajaran”, “biar tidak terulang lagi”, “penting untuk diketahui semua orang”, dan lain sebagainya. Orang-orang seperti itu senang berpartisipasi melihat orang lain jatuh di medsos karena mereka mendapat perhatian dan validasi, dan bagi mereka, kemalangan orang tak lebih dari sebuah unggahan yang bisa di-swipe jika tak ingin dilihat.

Kemudian, aku suka sekali dengan gaya narasi R. F. Kuang. Buku ini ditulis seperti diary atau buku hariannya June. Melalui sudut pandangnya, kita akan melihat berbagai hal yang dia alami dan hadapi serta hal yang dia pikirkan. Sedari awal, terasa sekali betapa dia iri pada Athena, lalu setelah dirinya menjadi “Athena” terasa sekali pula betapa dia merasa semua itu pantas ia dapatkan, walaupun logikanya ngaco.

Sampul Yellowface edisi
US dan UK
Namun, yang menarik ialah gaya narasinya membuatku menyukai June dan selalu penasaran dengan apa yang akan ia lakukan. Aku tahu bahwa June bukanlah tipe protagonis yang berhati baik[4]she’s completely a morally gray character—tetapi aku invested padanya. Lagipula, tak selalu June tampak buruk dan egois, ada momen-momen dia tulus berbuat baik. Seiring cerita berjalan, kita pun diajak untuk melihat beragam sisi lain June, mulai dari awal kariernya sebagai penulis yang tak berjalan baik—yang membuatku kasihan pada banyak penulis baru di luar sana; persahabatannya dengan Athena—yang ternyata mengungkap bahwa Athena sendiri bukan orang baik; dan trauma masa kecilnya—yang aku pikir relatable bagi beberapa orang. Aku terkadang berpikir bahwa dia adalah penulis yang bagus, tetapi tak mendapat kesempatan atau tak memiliki lingkungan yang suportif saja.

Kelebihan terakhir dari buku ini adalah sampulnya! Sampul yang versi bahasa Indonesia terlihat cantik banget! Dan itu sangat menggambarkan judul dan isi bukunya. Jika dibandingkan dengan versi Amerika Serikat dan Inggrisnya, tentu jauh banget. Terima kasih pada seniman-seniman luar biasa di Indonesia yang telah membuat sampul-sampul cantik untuk buku-bukuku, hehehe.

 

Kelemahan

Untuk kelemahan buku ini, sebenarnya tak terlalu terasa sih. Salah satu yang aku sadari adalah ada beberapa hal dalam buku ini yang tak terselesaikan dan tak diungkit lagi. Contohnya, tentang penawaran adaptasi film atas bukunya June. Itu hanya sekali dimunculkan, tapi tak ada kelanjutannya. Namun sejujurnya, itu tertutupi dengan narasi dan alur ceritanya yang nagih.

 

Kesimpulan

Yellowface adalah novel yang asyik dan menyenangkan bagi kalian yang suka gosip. Gaya narasi buku ini begitu julid dengan membeberkan berbagai sisi gelap dunia penerbitan dan kepenulisan. Bahkan, lebih dari itu, buku ini menyinggung persoalan representasi keberagaman, eksploitasi budaya etnis lain, rasisme dan rasisme terbalik, serta perundungan di media sosial. Meskipun isu-isunya berat, R. F. Kuang berhasil menyajikannya dengan cara yang menghibur, tetapi tetap pedas. Walaupun ada beberapa bagian cerita yang seperti tak diselesaikan, itu tidak mengganggu keseluruhan ceritanya.

Selain itu, penokohan June dan Athena juga dibuat begitu menarik untuk diikuti. Tidak ada yang 100 persen baik atau jahat. Ada momen-momen yang akan membuat kalian memutar bola mata melihat kelakuan June, dan ada momen-momen ketika kalian akan bersimpati padanya. Di sisi lain, kalian mungkin akan sedikit terkejut saat mengetahui seperti apa Athena yang sebenarnya. Namun yang pasti, melalui karakter June, kita dapat melihat bagaimana dunia industri buku tidaklah seindah yang dibayangkan. Banyak penulis bernasib malang seperti June di awal karier mereka. Dan buku ini, menjadi sebuah kritik yang tepat untuk permasalahan tersebut. Skorku untuk buku ini adalah 9/10, karena aku menikmati sekali ceritanya. Buku ini sangat kurekomendasikan kepada kalian yang suka membaca buku dan menulis buku.

 ***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post! 


[1] Buku yang kumaksud adalah Fourth Wing (2023) karya Rebecca Yarros. Dalam berbagai promosinya, disebutkan bahwa buku ini representasi orang berpenyakit kronis karena tokoh utama buku tersebut diklaim memiliki penyakit kronis. Namun, setelah membacanya, tak pernah satu kali pun disebutkan bahwa tokoh utamanya tersebut sakit kronis, dan nama penyakitnya pun tidak disebutkan. Yang ada hanya bahwa si tokoh utama memiliki kondisi fisik yang lebih lemah daripada teman-temannya, tapi tidak disebutkan bahwa itu kondisi kronis.

[2] Di Indonesia, hal ini terjadi pada buku The Alpha Girl’s Guide karya Henry Manampiring, penulis buku Filosofi Teras. Itu adalah buku tentang perempuan yang ditulis oleh laki-laki. Banyak yang mengkritik bahwa buku tersebut tidak bisa mewakili kaum perempuan dan terkesan mansplaining, meskipun banyak pembaca perempuan yang memberikan testimoni positif terhadap buku tersebut. Pendapat pribadiku setelah membaca bukunya, ada beberapa hal yang dapat dijadikan pembelajaran, tetapi memang ada beberapa hal yang terasa mansplaining.

[3] Aku pernah membaca buku karya Rebecca Roanhorse, seorang penulis Amerika Serikat yang berasal dari etnis Ohkay Owingeh, salah satu suku pribumi Amerika. Namun karya-karyanya mengambil inspirasi dari budaya suku Navajo, suku pribumi Amerika lainnya, dan karena itu ia kerap dikritik. Padahal, ia sudah bertahun-tahun mempelajari kebudayaan Navajo secara profesional, dan bahkan, ia kerap mengadvokasikannya. Meskipun begitu, kritik tetap berdatangan terhadap karya-karyanya, termasuk dari kalangan suku Navajo sendiri. Bahkan, mereka menganggap Rebecca Roanhorse melecehkan kebudayaan dan kepercayaan mereka.

[4] Protagonis adalah sebutan untuk tokoh utama dalam suatu cerita. Protagonis tidak harus selalu berwatak baik hati dan positif; mereka bisa bermoral buruk. 

Komentar