How to Make Millions Before Grandma Dies: Cerita Menghangatkan dan Mengharukan tentang Cucu dan Nenek—Nonton Ini Harus Siapin Tisu yang Banyak

Identitas Film Judul : How to Make Millions Before Grandma Dies Sutradara : Pat Boonnitipat Produser : Vanridee Pongsittisak, Jira Maligool Tanggal rilis : 4 April 2024 (Thailand), 15 Mei 2024 Rumah produksi : Jor Kwang Films Penulis naskah : Pat Boonnitipat, Thodsapon Thiptinnakorn Durasi tayang : 2 jam 5 menit Pemeran : Putthipong "Billkin" Assaratanakul, Usha "Taew" Seamkhum, Sarinrat "Jear" Thomas, Sanya "Duu" Kunakorn, Pongsatorn "Phuak" Jongwilas, Himawari Tajiri, Tontawan "Tu" Tantivejakul, Duangporn Oapirat Genre : Potongan kehidupan , komedi, drama keluarga   Sinopsis M (Putthipong "Billkin" Assaratanakul) ada

The Half of It: Film Romansa Romaja yang Filosofis dan Sederhana

Identitas Film

Judul

:

The Half of It

Sutradara

:

Alice Wu

Produser

:

Anthony Bregman, M. Blair Breard, Alice Wu

Tanggal rilis

:

1 Mei 2020

Rumah produksi

:

Likely Story

Penulis naskah

:

Alice Wu

Durasi tayang

:

1 jam 44 menit

Pemeran

:

Leah Lewis, Daniel Diemer, Alexxis Lemire

Genre

:

Coming of age, komedi romantis

 

Sinopsis

Ellie Chu (Leah Lewis) adalah seorang gadis biasa. Keluarganya adalah imigran dari Tiongkok. Dia tinggal di kota kecil bernama Squahamish, sebuah kota yang sama sekali tidak mengagumkan. Dia tidak populer di sekolahnya. Dia pintar—sangat pintar—dan diam-diam menggunakan kepintarannya untuk membuka jasa mengerjakan PR. Semua berjalan baik, tanpa keributan.

Kemudian suatu hari, seorang teman sekolahnya, Paul Munsky (Daniel Diemer), memintanya untuk membuatkannya surat cinta kepada Aster Flores (Alexxis Lemire). Ellie mulanya menolak karena menurutnya, surat itu sesuatu yang personal dan harus ditulis sendiri. Selain itu, juga karena Aster adalah gadis yang diam-diam dia sukai. Akan tetapi, karena kepepet dan butuh uang segera, Ellie menerima tawaran Paul.

Awalnya, Ellie hanya akan menulis satu surat. Namun, ketika tahu Aster membalas, terjalinlah korespondensi antara Ellie yang mengatasnamakan Paul dengan Aster. Bisakah Ellie tetap profesional menjalankan kesepakatannya dengan Paul tanpa membiarkan perasaannya ikut campur?

 

Kelebihan

Sudah cukup lama aku tidak melihat film seperti ini: sebuah film percintaan remaja yang terasa manis, lugu, dan hangat. Sepemantauanku, tren film remaja beberapa tahun belakangan, terutama film Barat, banyak yang mengusung tema menakalan remaja dan sebagainya. Aku sudah bosan dengan yang begitu. Maka dari itu, The Half of It boleh dibilang merupakan relieve bagiku.

Pertama-tama, yang aku suka dari film ini adalah pembukanya. Film remaja mana lagi yang dibuka dengan monolog yang menceritakan mitos cinta sejati versi Plato? Dari situ saja, aku sudah yakin akan menyukai film ini. Ini akan kubahas lebih lanjut nanti ya.

Kemudian, seperti yang telah kubilang sebelumnya, film ini adalah film remaja yang terasa banget remajanya. Kebanyakan film remaja di Netflix meseksualisasi remaja, yang biasanya membuatku malas duluan. Namun, The Half of It berhasil menampilkan citra remaja yang lugu dan lucu. Aku jadi teringat dengan film To All the Boys I’ve Loved Before, apalagi keduanya sama-sama mengusung tema surat cinta; dan kedua film tersebut menampilkan kisah cinta remaja yang manis serta lekat, tetapi tetap memiliki emosi yang kompleks.

Meskipun temanya adalah kisah cinta remaja, film ini tidak sama sekali terkesan klise. Malahan, aku salut dengan usaha untuk memaknai cinta. Dengan pembukaan yang menceritakan mitos cinta sejati dari Yunani kuno, film ini berusaha memperlihatkan seperti apa cinta itu. “Love is desire and pursue of whole” merupakan kutipan dari mitos tersebut yang dituturkan oleh Plato. Salah satu kutipan mengenai cinta yang menurutku paling tepat untuk menjelaskan cinta itu sendiri. Dan menariknya, dalam film ini ada kutipan mengenai cinta yang menurutku sama tepatnya:

“Love isn’t patient and kind and humble. Love is messy and horrible and selfish and bold. It’s not finding your perfect half. It’s the trying and the reaching and failing. Love is being willing to ruin your good painting… for the chance at a great one.”

Hal lain yang aku sukai dari The Half of It ialah aspek teknisnya. Aku suka caranya menampilkan shot yang mengesankan keintiman antartokoh, (spoiler alert) seperti ketika Ellie dan Aster menghabis waktu bersama di tempat rahasianya Aster, atau ketika Ellie menceritakan tentang keluarganya kepada Paul, atau bahkan ketika ayahnya Ellie mengobrol dengan Paul. Apalagi, dengan scoring-nya yang minimalis, kesan intim tersebut terasa makin kuat. Aku bisa langsung merasa lekat dengan tokoh-tokohnya.

Berikutnya, aku sangat menyukai chemistry Ellie dan Paul. Aku suka melihat hubungan mereka perlahan berkembang dari rekan bisnis menjadi teman. Aku suka melihat persahabatan keduanya yang terasa tulus. Aku suka cara mereka mendukung satu sama lain. Aku suka cara mereka bisa terbuka tentang diri mereka ke satu sama lain. Interaksi mereka berdua terasa hangat dan menyenangkan. Yang lebih penting lagi, persahabatan mereka mendorong keduanya untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Selain Ellie dan Paul, tentu aku juga suka dengan Ellie dan Aster. Meskipun Ellie mengobrol dengan Aster mengatasnamakan Paul, chemistry mereka tetap memikat. Obrolan mereka begitu intim, walau hanya lewat surat dan pesan chat. Cara mereka mengobrol pun menunjukkan sekali bahwa mereka sefrekuensi. Dengan car aitu, aku bisa merasakan kesan romantis dari mereka berdua. Tanpa perlu melalui pelukan, ciuman, apalagi hubungan badan—yang biasanya dimunculkan dalam kebanyakan film remaja Netflix—hubungan Ellie dan Aster terasa sangat romantis.

Omong-omong, in case kalian heran—iya, Ellie dan Aster itu sama-sama perempuan dan Ellie seorang lesbian. Namun, jangan langsung berpikir, “Ah, ini mah film yang mau mengampanyekan LGBTQI+ lagi, males ah”. Enggak, film ini tidak begitu. Yang aku suka dari The Half of It adalah walaupun film ini ingin mengadvokasi hak kelompok LGBTQI+, film ini tidak melakukannya dengan cara yang menuntut. Maksudku, banyak film LGBTQI+ yang terkesan “marah” dan “menuntut”—itu pendekatan yang terkadang membuat penonton tidak minat duluan.

Akan tetapi, The Half of It mengadvokasi kelompok LGBTQI+ dengan cara yang lebih “halus”. Di dalam film ini, tidak ada adegan Ellie meminta agar keluarganya atau teman-temannya supaya memvalidasi perasaannya sebagai seorang lesbian. Justru, dalam film ini hanya ada Ellie yang ingin agar perasaannya kepada Aster dimengerti. Iya, pendekatannya itu lebih personal—tidak terang-terangan mengadvokasi kelompok LGBTQI+ secara umum. Di sisi lain, menghubungkan kembali dengan usaha film ini untuk memaknai cinta, The Half of It tampaknya ingin menyampaikan bahwa cinta, dalam arti menginginkan dan mengejar keutuhan dan kebahagiaan, itu tidak memandang gender dan jenis kelamin; it is about the right person.

Terakhir, aku suka dengan adegan penutupnya. Pertama, (spoiler alert) aku suka melihat ketika Paul dan Ellie seperti mereka ulang adegan dari sebuah film yang pernah mereka tonton bersama. Sebelumnya, Ellie mengatakan bahwa kedua tokoh dalam film tersebut konyol karena melakukan adegan tersebut; tapi pada akhirnya, mereka melakukan adegan itu juga dan Ellie merasa senang yang terlihat dari senyumnya. Kedua, aku suka adegan sederhana yang menampakkan orang-orang yang sedang menatap ke luar jendela. Adegan itu menunjukkan orang-orang yang sedang mencari cinta mereka, mencari keutuhan mereka. Itu merupakan cara yang tepat untuk menutup film ini, yang dibuka dengan narasi mitos cinta sejati. What a well-written story!

 

Kelemahan

Kelemahan yang aku rasakan dari film ini adalah penyelesaiannya yang terasa diburu-buru. Mungkin, itu karena semua masalahnya baru memuncak di hampir 30 menit terakhir, sehingga hanya tersisa sedikit waktu untuk tahap resolusi. Akhirnya, penyelesaian masalahnya bisa dibilang hanya begitu saja. Bahkan, akhirnya agak menggantung bagiku.  Seandainya masih ada beberapa menit lagi, mungkin penyelesaiannya dapat diceritakan dengan lebih baik.

 

Kesimpulan

The Half of It adalah salah satu film coming of age yang patut ditonton semua orang. Film percintaan remaja ini terasa remaja banget—tidak meseksualisasi remaja secara berlebihan, tidak menunjukkan kenakalan remaja, dan juga tidak memperlihatkan drama remaja yang lebay. Alih-alih, film ini berupaya mengeksplorasi makna cinta. Chemistry yang bagus antartokohnya sangat mendukung narasi cerita yang terasa hangat di hati ini, walaupun tahap resolusinya agak terburu-buru dan datar. Di sisi lain, film ini pun mampu mengadvokasi hak kelompok LGBTQI+ melalui pendekatan yang terkesan lebih personal. Aku memberikan skor 9/10 untuk film ini. Pokoknya, film ini harus masuk watchlist kalian!

Kalian bisa menonton The Half of It di Netflix. Silakan tonton trailer filmnya di bawah ini.

***

Thank you for reading this long. I wish this writing gives you knowledge and insights. If you like this writing, please share it to your friends through your Facebook, Twitter, or any other social media by copying the link in the share button. Please fill the comment below, so I could know what do you think about this topic or you can give me some comments and criticisms. Once again, thank you for reading my blog. See you in the next post! 

Komentar